Komitmen Bukan Pembunuh Kebebasan

setipedotcom-advice-marshahabib-komitmen-bukan-pembunuh-kebebasan

Ini untuk mereka yang tertular virus ‘takut komitmen’

 

Saya tidak tahu tentang kalian, tetapi akhir-akhir ini saya sedang sangat sering mendengar orang sekitar menyebutkan ‘takut komitmen’, dalam konteks menjalin sebuah hubungan; karena “masih mau bebas”. Semakin sering mendengarnya, semakin saya tidak mengerti apa artinya. Apakah sebenarnya arti dari komitmen? Benarkah kebebasan akan hilang ketika menjalani sebuah hubungan berkomitmen?

 

Komitmen /ko·mit·men/ n perjanjian (keterikatan) untuk melakukan sesuatu; kontrak

Kebebasan /ke·be·bas·an/ n keadaan bebas; kemerdekaan

 

Ya, terima kasih, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Definisi kedua kata ini membuat ‘komitmen’ terdengar seperti penjajah yang belum puas juga untuk mengganggu kebebasan sebuah negara. Akan tetapi, pengertian komitmen itu membuat saya jadi bertanya-tanya, apakah HTS (Hubungan Tanpa Status—just in case kalian lupa apa kepanjangannya) memang terjadi karena adanya ketakutan akan komitmen?

 

Ada beberapa pasangan di sekitar saya yang sedang menjalani HTS, atau hubungan yang mereka sebut ‘jalanin aja’. Jalani saja, jalani kemana? Karena penasaran, saya melakukan sedikit penelitian rahasia mengenai hubungan mereka. Nama dan hampir semua detil telah saya samarkan, tidak hanya karena saya sangat menghargai privasi mereka, tapi juga karena saya tidak mau kehilangan teman. Bisa jadi (mudah-mudahan), mereka tidak sadar bahwa ini adalah kisah tentang mereka.

 

Aldi dan Dita adalah dua orang berusia 26 tahun, yang sudah menjalani hubungan ‘jalanin aja’ selama hampir delapan bulan. Dita sebenarnya sudah mulai gerah dengan keabu-abuan hubungan ini, sementara Aldi tidak merasa ada yang salah dengan warna abu-abu.

 

Mereka melakukan banyak hal bersama-sama. Ngedate setiap malam minggu, datang ke pernikahan teman, makan siang di tengah kesibukan kerja, sampai datang ke acara keluarga bersama. Dita berkata, “Gue nyaman banget sama Aldi, dan kita udah saling mengaku kalau saling suka. Tapi Aldi bilang kita jalanin dulu aja; saling kenal dulu, karena dia masih takut dengan komitmen.”

 

Saya pun bertanya kepada Aldi, “Emangnya komitmen itu apa, sih? Kenapa lo takut banget?”

 

Aldi pun memandang saya seakan tidak percaya bahwa masih ada manusia di dunia ini yang tidak tahu arti komitmen. “Komitmen itu dedikasi untuk ngejalanin suatu hubungan serius. Gue belum siap.”

 

Sebenarnya, saya ingin bertanya, “Kalau hubungan serius itu seperti apa?” Tapi…kemudian perhatian saya teralihkan oleh Dita.

 

Dita, yang masih mencoba sabar. Sambil meneguk secangkir susu cokelat, dia mengaku bahwa dia percaya percaya bahwa Aldi tidak akan pergi dengan perempuan lain, biar pun dia juga sadar kalau dia tidak punya hak untuk marah apabila hal itu memang benar terjadi.

 

“Doain aja gue sabar menunggu sampai dia siap untuk berkomitmen. Gue belum mau menikah, kok, tapi gue ingin menjalani sebuah hubungan yang serius.” Katanya, sambil tersenyum manis.

 

Senyum manis Dita membuat saya mendatangi Aldi, dan memintanya untuk menjelaskan kenapa dia takut dengan komitmen. Dengan wajah yang seakan berkata untung-lo-temen-gue-kalau-nggak-mah-gue-cabut-aja, dia menjawab, “Hubungan gue sama Dita udah enak banget kayak gini. Kenapa gue takut? Soalnya kalau udah pakai komitmen, nanti akan ada tuntutan macam-macam. Terus ya, kalau udah pacaran, gue jadi harus selalu menjadikan dia sebagai prioritas, sementara gue lagi fokus sama kerja dan teman-teman.”

 

Dalam hati, saya bertanya, “Lho, selama ini lo juga udah sering batalin janji sama teman-teman karena mau pergi sama Dita, kan?”

 

Tetapi pertanyaan itu tidak saya lontarkan. Bukan (hanya) saya takut membuat Aldi marah karena kebanyakan bertanya, tetapi karena saya ingat bahwa Aldi pernah memilih untuk menemani Dita yang sedang dirawat di rumah sakit, dibanding datang ke konser band favoritnya. They do what real couples do; but why aren’t they in a relationship?

 

“Marsha, kalau pacaran, semuanya akan rusak. Dita akan menuntut banyak dari gue, dan gue pun juga begitu. Apalagi gue belum siap untuk nikah, mau kasih Dita makan apa, coba?” Aldi menjelaskan lagi, dengan nada defensif yang membuat saya ingin pamit pulang.

 

Sebenarnya, kata siapa pacaran harus saling menuntut, membunuh kebebasan, atau harus sudah punya rencana untuk menikah? Darimanakah keharusan ini datang? Saya percaya kalau tidak semua pasangan seperti itu, tidak ada pasangan yang harus seperti itu. Mungkin tanpa sadar, Aldi telah terkontaminasi oleh standar hubungan orang lain. Dia lupa untuk membicarakannya langsung dengan Dita, dan langsung membangun tembok besar untuk melindungi kepala dan hatinya setiap kali mendengar ‘komitmen’. Talk about communication, huh?

 

Sejujurnya, saya tetap merasa bahwa kata ‘komitmen’ adalah sesuatu yang jauh lebih kompleks dari yang dijelaskan oleh KBBI. Artinya banyak sekali, dan bisa jadi berbeda-beda untuk tiap orang. Oleh karena itu, saya percaya akan satu hal: a committed relationship is supposed to be customized. Kalian bisa membangun sebuah hubungan berdasarkan keinginan dan ‘desain’ kalian bersama. Tidak perlu mencontek ‘model’ hubungan orang lain, bukan?

 

Saya percaya kalau komitmen tidak akan bisa membunuh kebebasanmu, selama kedua belah pihak bisa benar-benar terbuka mengenai apa yang mereka inginkan dan butuhkan, sebelum memulai sebuah hubungan berkomitmen. Proses membuka diri ini sangat krusial, dan bisa menjadi  ‘vaksin’ untuk melawan virus ‘takut komitmen’. Just make sure that both of you stay connected, in such an honest way.

 

Jadi, sudahkah kalian mengambil vaksin anti takut komitmen?