Kamu Ingin Mempraktekkan 'stimulus' ini!

Karena kamu membutuhkan ekspektasi berteman baik dengan realita

 

Sebelum saya memulai berceloteh di dalam artikel ini, saya ingin mengajak kamu untuk duduk di dalam lingkaran bersama para pembaca yang lain. Sudah siap? Oke, sekarang kita akan bermain truth or truth. Lho, kok ada yang mau kabur? Tunggu dulu, saya tidak akan bertanya yang aneh-aneh, kok. Kali ini, hanya satu pertanyaan saya: “Seberapa sering kamu dikecewakan oleh ekspektasimu sendiri?” Nah, saya bisa merasakan beberapa wajah menunduk akibat menggali memori yang sudah dikubur.

Maafkan saya yang membuat kamu teringat kembali dengan kisah pahit itu. Mungkin salah satu dari kalian ada yang ingin berteriak, “Bukan salah saya jika saya berekspektasi demikian tingginya! Salahkan si Pemberi Harapan Palsu yang bikin saya ge-er duluan!” Eits, jangan buru-buru menyalahkan orang lain. Siapa tahu memang kita sendiri yang tidak pintar menata ekspektasi kita sendiri sehingga mudah kecewa. Jangan juga buru-buru memutuskan untuk tidak mau lagi berekspektasi demi kesejahteraan hatimu sendiri. Sebab, percuma. Ekspektasi itu sesuatu yang tidak dapat dihindari alias natural alias otomatis terjadi. Namun, kita bisa memanfaatkan ekspektasi untuk membawa keuntungan, tidak melulu kekecewaan.

Expectation, treat it right

Manusia punya dua kecenderungan ketika menghadapi suatu ancaman, flight yaitu kabur untuk menghindari ancaman, atau fight yaitu menghadapi ancaman itu dengan penuh strategi. Mungkin saking seringnya ekspektasi menimbulkan kekecewaan, kita pun berpikir bahwa ekspektasi adalah sebuah ancaman. Lihat, semua itu berawal dari pikiranmu sendiri. Mari kita ibaratkan pikiran kita sebagai sebuah rumah. Karena ekspektasi adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari, hal yang kerap dilakukan oleh ekspektasi adalah menyelonong masuk ke dalam rumah tanpa sebelumnya mengetuk pintu. Hal itu seringkali terjadi tanpa kita siap, sehingga muncullah anggapan bahwa “Ekspektasi = Ancaman”. Jika sudah begitu, kita akan melakukan flight dengan mengusir ekspektasi keluar rumah dengan sapu lidi dan berharap dia tidak datang lagi. Shoo! Shoo!

Lain halnya jika sebelumnya kita siap dengan datangnya ekspektasi, kapanpun ia menunjukkan batang hidungnya. Kita sudah tahu apa yang harus kita lakukan untuk menjamunya di rumah kita sendiri. Sebab kita tahu bahwa ekspektasi dapat membantu kita melalui realita.

Ekspektasi dan keyakinan

Dengan segala imajinasi mengenai harapan dan kemungkinan, ekspektasi dapat mengelabui pikiranmu dan membuatmu memiliki suatu keyakinan tertentu. Pernah dengar placebo effects? Yaitu efek yang dirasakan seseorang ketika diberikan stimulus tertentu, padahal stimulus itu sebenarnya tidak memiliki pengaruh terhadap efek tersebut. Cara kerja yang sama terjadi pada saat kita berekspektasi.

Contoh kasus yang terjadi pada Andina yang patah hati karena baru putus dari pacarnya. Sudah tiga hari Andina mengurung diri di kamar, sampai akhirnya Lita, sahabatnya, mengunjungi Andina ke rumah dengan membawa satu liter es krim green tea. Lita menyuruh Andina memakan es krim tersebut sampai habis, dan meyakinkannya bahwa setelahnya Andina akan merasa lebih baik. Benar saja, baru memakan es krimnya 3 sendok saja Andina sudah merasa hatinya baikan. Itu bisa terjadi karena Andina berekspektasi bahwa dia akan merasa lebih baik setelah makan es krim pemberian Lita. Ekspektasi itu membuat Andina memiliki keyakinan bahwa es krim green tea dapat membuat suasana hati lebih baik.

Ekspektasi dan realita

Saking seringnya ekspektasi tidak berjalan beriringan dengan realitas, bukan berarti keduanya tidak memiliki hubungan sama sekali. Tahukah kamu bahwa selain dapat berpengaruh terhadap keyakinanmu, ekspektasi juga dapat berpengaruh terhadap realita di lingkunganmu? Saya tidak sedang bercanda. Setelah placebo effects, kamu bisa jadi mengalami Pygmalion effects.

Pada Pygmalion effects, yang berpengaruh bukan hanya ekspektasi diri sendiri saja, namun juga ekspektasi orang lain terhadap kita.

Kasus kedua, teman saya yang keras kepala, sebut saja Manda, mencurigai pacarnya, Hasbi, memiliki hubungan dekat dengan salah satu teman sejurusan Hasbi di kampusnya. Tapi sebenarnya Manda tidak pernah dapat membuktikan kecurigaannya itu. Secara tidak sadar, Manda sedang memiliki ekspektasi bahwa ia pasti akan memergoki Hasbi berselingkuh. Pemikiran ini menyebabkan Manda menjadi terlalu over-protective terhadap Hasbi, dan selalu menginterogasi Hasbi habis-habisan setiap kali ia pergi dengan teman-teman sejurusannya.

Lain halnya dengan Cindy, teman saya yang lain, yang sedang LDR dengan pacarnya, Dito. Cindy selalu percaya bahwa hubungannya dengan Dito sangat berharga bagi mereka berdua. Cindy punya ekspektasi bahwa Dito akan menjadi pasangan hidupnya dikemudian hari, meskipun saat ini ia harus menjalani hubungan lintas benua. Ekspektasi tersebut membuat Cindy selalu menjaga kepercayaan dan komunikasi antara mereka berdua. Ekspresi kasih sayang antara Cindy dan Dito juga tetap terjaga, meskipun bentuknya virtual. Ia dan Dito juga membuat jadwal rutin untuk saling bertukar cerita dan perasaan lewat video call, sesibuk apapun jadwal mereka saat itu.

Apa yang akan terjadi dengan mereka? Mungkin kamu bisa menyimpulkan sendiri dampak dari ekspektasi kedua teman saya tersebut dengan mengaitkan kisah mereka dengan gambaran di atas. Biarpun begitu bukan berarti apapun yang kita ekspektasikan akan menjadi realita, ya! Ekspektasi hanya segelintir faktor kecil yang mempengaruhi realita itu sendiri. Jangan samakan ekspektasi dengan jin dari lampu ajaib yang bisa mengabulkan permintaanmu dalam sekejap.

Ingat juga bahwa ekspektasi tidak selamanya baik atau buruk. Kamu bisa memanfaatkan si baik, namun harus mengantisipasi si buruk. Caranya? Dengan membuka pintu dan mengundang si baik untuk masuk dan memperkenalkan si buruk pada si baik agar mereka berteman. Kamu adalah tuan rumahnya, jadi seluruh kendali ada padamu. Kamu yang berhak menentukan realita mana yang akan menghampiri kamu.

Pilih strategimu, eksekusi, dan realita tidak lagi menjadi musuh kamu. Berani taruhan?