Ketika Cinta Tidak Mengenal Suku Bangsa

Inikah arti sebenarnya dari Bhinneka Tunggal Ika?

 

Saya akan mengantarkan kamu untuk sedikit bernostalgia akan wajah guru PPKN kamu sewaktu SD. Ingatkah kamu betapa bersemangatnya bapak/ibu tersebut mengajarkan kita arti dari tenggang rasa? Ya, sebagai negara yang besar karena suku bangsanya yang beragam, tidak heran kalau semenjak dini kita sudah diajarkan bagaimana menghargai dan tidak membeda-bedakan manusia dari warna kulit dan bentuk wajahnya.

Kalau kamu lupa atau belum tahu, Indonesia memiliki lebih dari 360 jenis kelompok etnis yang tersebar di seluruh wilayah negeri ini. Sebagai negara yang terbentuk dari banyaknya suku bangsa, baik itu suku asli maupun suku pendatang, cinta mungkin saja hadir tanpa memandang siapa nenek moyang mereka. Si mata besar bisa jadi tidak bisa mengalihkan pandangannya dari si mata sipit, dan si rambut lurus lebih suka membelai rambut ikal yang bergelombang. Tapi, apa yang terjadi kalau dua hati yang terbungkus nilai-nilai budaya yang berbeda, tidak bisa bersatu karena larangan adat yang mengikat?

Setipe.com sadar bahwa etnis adalah satu syarat yang dilihat oleh orang Indonesia dalam memilih pasangan. Etnisitas juga merupakan salah satu faktor terbentuknya kepribadian seseorang. Selain itu, Indonesia sendiri memiliki budaya masyarakat kolektivis yang menjunjung tinggi nilai-nilai kelompok. Apalagi kalau sudah menuju ke arah pernikahan. Pernikahan di Indonesia bukan hanya menyatukan dua individu, melainkan menyatukan dua keluarga sekaligus. Sulitnya dua keluarga ini bersatu dipengaruhi oleh mitos-mitos pernikahan antar etnis yang banyak beredar di masyarakat.

 

Mitos #1: Batak + Jawa = Si Dominan dan Si Submisif

Fakta: Bukan, saya bukan sedang membahas Fifty Shades of Grey. Adanya pandangan yang kuat bahwa orang Batak memiliki karakter keras (dominan) dan orang Jawa memiliki karakter penurut (submisif), membuat munculnya anggapan bahwa akan ada kasus ‘penindasan’ di dalam hubungan Batak-Jawa. Oow, tunggu dulu! Saya yakin orang Batak langsung berteriak tidak setuju. Sebelum kena demo, saya sebagai orang Jawa juga tidak setuju kok dengan anggapan ini. Dengan alasan, ini hanya masalah cara berkomunikasi. Kita tumbuh sebagai generasi yang komunikasinya mengedepankan kompromi di atas arogansi, bukan? Jika bukan, mungkin ini saatnya kamu belajar bagaimana caranya berkomunikasi secara asertif agar tidak saling tindas-menindas, apapun itu kelompok etnismu.

 

Mitos #2: Jawa + Sunda = Hubungan Diwarnai Peperangan

Fakta: Katanya, mitos ini muncul karena ada sejarah perang antara Kerajaan Majapahit dari tanah Jawa dan Kerajaan Padjadjaran dari tanah Sunda, yang kalau kamu ingat bernama Perang Bubat. Gara-gara perang tersebut, orang Jawa dianggap telah merendahkan martabat orang Sunda. Jadi, muncullah larangan pernikahan antara orang Jawa dan Sunda. Setuju gak, kalau itu sebenarnya cuman urusan nenek moyang kita yang dibesar-besarkan? Kalau kamu tidak setuju, saya bisa kasih bukti bahwa pulau Jawa masih dikelilingi oleh lautan samudera, bukan oleh lautan darah (baca: orang Jawa dan Sunda bisa hidup rukun dalam satu pulau).

 

Mitos #3: Sunda + Minang = Kondisi Keuangan Labil

Fakta: Pernah dengar kalau orang dari suku Minang itu pelit dan orang Sunda suka berfoya-foya? Stereotype itu membuat pihak-pihak yang mudah panik dengan kondisi keuangan keluarga, melarang adanya hubungan di antara dua kelompok etnis ini. Saya mungkin bukan ahli ekonomi, tapi setahu saya belum ada teori ekonomi yang mengatakan adanya pengaruh suku dan budaya terhadap stabilitas perekonomian negara. Lagipula apapun etnisnya, jika kamu tidak pandai mengatur pendapatan dan pengeluaran, guncangan ekonomi mungkin saja terjadi.

 

Fakta-fakta di atas berkata bahwa perbedaan etnis tidak seharusnya menghalangi cinta antara kamu dan calon pasanganmu. Walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian masyarakat kita masih terbentur aturan-aturan adat yang sudah turun-temurun dijaga. Jadi, kamu termasuk penganut pandangan yang mana? Di Setipe.com, kamu bebas menentukan pandanganmu!