Pahami 2 Hal Ini Sebelum Menyebutnya "The One"

setipedotcom-advice-ratih-are you the one

Jangan terburu-buru!

 

Beberapa hari yang lalu, di saat saya sedang ingin bersantai menikmati akhir pekan, tiba-tiba teman saya datang ke rumah. Ia datang dengan penuh semangat, bahkan saya tidak tahu mengapa ia sebersemangat itu. Sampai akhirnya ia menghampiri saya dan dengan menggebu-gebu mengatakan, “Gue udah yakin! He is the one!” sambil memeluk saya dengan sangat kencang. Saya yang sudah berkali-kali mendengar ia mengatakan kalimat itu pun menanggapinya dengan malas-malasan.

Apa yang teman saya alami itu, pasti juga pernah dialami oleh banyak orang. Istilah “The One” merupakan suatu istilah yang sudah sering kita dengar. Istilah tersebut sangat popular dan banyak digunakan, khususnya oleh manusia dewasa muda, yang memang pada tahapan perkembangan tersebut isu hubungan romantis merupakan hal yang cukup penting. Ayo akui, siapa disini yang sedang melakukan usaha keras dalam mencari “The One”? (Saya bisa melihat kamu tersenyum.) Namun ternyata, dari sekitar 7 milyar populasi dunia yang berusaha menemukan one-and-only soulmate hasilnya secara statistik mendekati 0. Lalu, mengapa masih banyak saja orang yang mengatakan, Aku hanya tahu dia ‘orang’nya!” tak lama setelah ia bertemu dengan seseorang yang akhirnya ia nikahi?

Berdasarkan survei yang telah dilakukan oleh Redbook Magazine, 23% dari 2000+ perempuan yang sudah menikah mengakui bahwa laki-laki yang ia nikahi adalah “The One” dengan segera, sedangkan 25%-nya baru menyadari beberapa minggu kemudian. Hasil survei tersebut memang tidak dapat menggambarkan seluruh perempuan di planet ini, tetapi hasil tersebut menggambarkan pengalaman yang sangat cepat dalam findingThe One”, bukan? Hal ini dapat menjawab mengapa teman saya tiba-tiba datang ke rumah saya dengan sangat bersemangat.

Oleh karena itu, ada baiknya kamu tidak semudah dan secepat itu mengatakan kamu sudah menemukan “The One.” Ada beberapa hal yang perlu kamu perhatikan sebelum dengan yakin mengatakan hal tersebut, yaitu emotional maturity dan situational readiness. Apa itu? Mari kita bongkar satu per satu:

 

1. Emotional Maturity

Indikator utama dalam emotional maturity adalah seberapa baik kamu dalam menunda keinginanmu. Jika kamu atau pasanganmu masih memiliki peraturan “aku menginginkan itu saat ini juga” tanpa melihat konsekuensi jangka panjang, maka berarti kamu masih belum siap. Jika kamu merupakan orang yang harus langsung memenuhi keinginanmu, dan juga menyukai komitmen, kamu dapat berpikir bahwa kamu sudah menemukan “The One”-mu berkali-kali, dan hal ini akan berujung dengan berakhirnya hubunganmu dengan pasangan dan memulainya kembali dengan orang lain.

Indikator lain dari emotional maturity adalah embracing interdependence, yaitu kemampuan menjadi mandiri, namun juga merasa nyaman saat menerima dan memberi dukungan. Jika kamu takut tidak dapat hidup bahagia dan baik tanpa pasangan, kemungkinan kamu akan membuat keputusan berdasarkan pencarian sisi aman dibandingkan dengan kesimbangan antara self-sufficiency dan kemampuan untuk bergantung dengan orang lain. Semakin kamu bergantung dengan orang lain, semakin sering kamu berpikir bahwa semua love affair adalah “The One” saat pertama kali.

Selain itu, emotional maturity juga mencakup kemampuan agar tetap tegar setelah mengalami kehilangan. Jika kamu takut bahwa kehilangan cinta akan menghancurkanmu, bukan memperbaikimu, maka kamu cenderung untuk memaksa pasangan yang tidak tepat agar tetap berada di kehidupanmu, dan kalian berada didalam hubungan yang buruk dalam jangka waktu yang lama hanya karena bagi kalian mengakhiri hubungan terlihat menyakitkan. 

Orang yang sudah memiliki emotional maturity dapat mengembangkan rasa empati. Mereka dapat memahami dan mendukung perasaan dan sikap orang lain, bahkan disaat mereka tidak setuju, namun tetap tidak mebahayakan dirinya sendiri.

Apakah kamu sudah memiliki semua hal yang menjadi indikator emotional maturity? Sambil kamu merenungkan hal tersebut, mari kita bahas poin selanjutnya, situational readiness.

 

2. Situational Readiness

Pada usia 20-an, kamu akan mengalami kebingungan saat harus berhadapan pada komitmen dengan pasangan hidup. Pendidikan tinggi, perekonomian sulit, sering berganti pekerjaan, dan besarnya permasalahan saat kencan dan pemilihan pasangan merupakan beberapa alasan tertundanya situational readiness. Oleh karena itu, wajar jika seseorang yang berada pada usia akhir 20-an, atau bahkan 30-an, masih belum mencapai situational readiness. Pernikahan atau deklarasi lainnya mengenai komitmen hidup dapat diumpamakan sebagai dessert, bukan hidangan utama. Dessert dimakan setelah semua hidangan selesai dimakan, baik makanan utamanya enak ataupun tidak, pernikahan sama seperti dessert yang baru dirasakan setelah seseorang sudah mencoba asam manisnya hidup. Jika kamu sudah siap menghadapi tahapan kehidupan yang mungkin lebih kompleks namun membahagiakan, kamu pasti dapat melewati masa ini dan menemukan “The One” yang selama ini kamu cari.

 

Sebelum kamu mencoba meyakinkan dirimu bahwa sosok di depan matamu saat ini adalah seseorang yang selama ini kamu cari-cari, atau mengumbar kepada teman baikmu bahwa kamu sudah menemukan “The One”-mu (seperti apa yang teman saya lakukan kepada saya), ada baiknya kamu pahami dulu dari penjelasan teoritikal diatas, lalu berdiri di depan cermin, dan renungkan apakah kamu sudah memiliki kedua hal utama ini?