Kehidupan Setelah (Hubunganmu) Mati

Surga atau Neraka? Terserah kamu.

 

Di suatu sore yang terlihat biasa-biasa saja, kamu sedang dalam perjalanan menuju rumah pacarmu. Perasaanmu kurang enak, karena hubungan kalian sudah kurang sehat selama setengah tahun terakhir. Kamu merasa dia mulai ogah-ogahan, dan tidak lagi berusaha untuk meluangkan waktu untukmu. Pertengkaran kalian pun tidak lagi menambah ‘bumbu’ untuk hubungan kalian, yang malah terasa hambar seperti sup buntut tanpa garam dan kaldu.

Kekhawatiranmu pun terbukti. Dia minta putus. Dia sudah tidak ingin mempertahankan apa pun dari hubungan kalian, perasaannya sudah hilang. Kamu ingin sekali merespon perkataannya dengan, “Oke, perasaanmu hilang. Kalau aku, harapannya dong yang hilang…ha ha ha..” tetapi kamu tahu hal itu tidak lucu dan malah akan terdengar sangat menyedihkan. Kamu tidak ingin menjadi seorang yang terlalu menyedihkan.

Berbekal dengan beberapa keping hal fana yang kamu sebut harga diri, kamu mengangguk dan pamit pulang. Tidak perlu membuat adegan ala sinetron di mana kamu menangis sesenggukan sambil memohon. Yang kamu perlukan hanyalah pulang ke rumah.

Di perjalanan pulang, kamu berpikir perlahan. Enam tahun terbuang begitu saja. Mengapa perasaan bisa mati? Atau jangan-jangan dia tidak pernah mencintaimu? Ah, sangat mudah untuk berpikir negatif.

Layaknya seorang yang baru pulang dari pertandingan rugby, kamu merasa lelah sekali dan hanya ingin tidur. Ajakan temanmu untuk makan malam bersama pun kamu tolak, karena, ya, apa gunanya? Makan sate Padang paling enak di Jakarta pun tidak akan bisa menghapus fakta bahwa mulai sekarang, kamu tidak berbagi hidup dengan dia lagi, bukan?

Sesampainya di rumah, kamu membungkus diri dengan selimut tebal, seakan-akan kamu percaya bahwa kamu akan bisa tidur. Sayangnya, untuk beberapa waktu, kamu akan kehilangan keahlianmu untuk tidur. Sayangnya, mulai esok hari, kamu akan merasa kehilangan banyak hal; termasuk arah. Apa yang akan terjadi selanjutnya?

1. “Dia cuma emosi saja, nanti juga balik lagi.”

Selamat datang di fase yang (menurut saya pribadi) paling menyebalkan. Di sini, kamu tidak akan merasa sakit, tetapi khawatir yang terus-menerus. Kamu akan terus mengatakan bahwa mantan pacarmu itu hanya butuh waktu untuk meredakan emosinya, sampai akhirnya minta balikan denganmu. Ketika kamu melihat foto mantanmu sedang bersenang-senang dengan temannya, kamu mengatakan pada dirimu sendiri, “Ah, dia hanya mencoba menarik perhatianku.” Atau ketika tweet-nya menunjukkan perasaan menyenangan seseorang ketika kenalan dengan orang baru, kamu akan berpikir, “Ah, dia hanya ingin membuatku cemburu, saja.” Di fase ini, kamu akan menjadi orang paling delusional yang pernah kamu kenal. Ya, memang mungkin mantan kamu melakukan hal itu untuk menarik perhatianmu, tetapi yang tidak kalah mungkin adalah: mantanmu sudah berjalan maju ke depan, dan kamu masih di sini.

2. Untuk apa ikhlas kalau bisa pamrih?

Ya, di fase ini kamu akan merasakan sebuah amarah yang sangat intens terhadap mantan pacarmu. Semua kesalahannya akan kamu bahas ulang, paling tidak di kepalamu sendiri. Apalagi, kesalahannya yang paling fatal: meninggalkanmu. Kamu akan marah karena dia tega untuk meninggalkanmu setelah bertahun-tahun kalian bersama. Kamu mulai pamrih dengan segala usaha yang kamu lakukan untuknya dan hubungan ini. Pokoknya, mantanmu itu adalah orang paling jahat dan tidak tahu terima kasih di dunia! Ya, di fase ini, kamu akan menjadi seseorang yang kelakuannya pantas disebut sebagai ‘Si Anti Ikhlas’.

3. Pasar tawar-menawar

Nah, setelah kamu melewati perjalanan emosi yang luar biasa intens, kamu akan masuk ke dalam pasar tawar-menawar. Kamu akan mulai mencari cara agar dia ingin balikan denganmu. “Aku janji aku akan berubah” akan kamu ucapkan terus-menerus seperti layaknya orang sedang berdoa. Di sini kamu menjadi sales person untuk dirimu sendiri. Segala hal yang kamu tahu dia benci darimu akan kamu jadikan ‘senjata’ dan bagian dari agenda agar bisa balikan dengannya. Kamu akan sangat sibuk menjual dirimu sendiri, sampai lupa bahwa segala perubahan yang kamu janjikan hanyalah tiket agar kamu bisa masuk kembali ke hatinya. Bukan untuk menjadikanmu dan dia orang yang lebih baik dan bahagia.

4. Tsunami Kesedihan

Kamu akan mendapati bahwa kesedihan itu senang sekali mengisi hari-harimu. Bisa jadi, kamu baru saja sampai rumah setelah pergi kencan dengan orang baru. Akan tetapi, sesampainya di rumah, kamu malah menangis tersedu-sedu, atau merasakan kesedihan yang sangat mengganggu kegiatanmu. Di fase ini, kamu akhirnya menyadari bahwa mantanmu dan kamu memang tidak bisa bersama lagi. Dia sudah tidak ingin bersamamu lagi, dan tidak ada yang bisa kamu lakukan. Yang bisa dilakukan adalah menangis, menonton banyak film dan mendengar banyak lagu yang saking relevannya, akan membuatmu merasa tambah sedih dan mengingatkanmu dengan mantanmu. Ini adalah saat kamu menganggap semua lagu sedih dan film sedih itu diciptakan hanya untukmu.

5. Here Comes The Sun

Akhirnya, kamu sampai pada titik ini. Teman-temanmu mungkin sudah bosan mendengar cerita tentang mantanmu dan apa yang kamu rasakan terhadapnya, tetapi sekarang kamu pun mulai merasa tidak ada yang bisa dibicarakan lagi. Perlahan, kamu mulai kembali menjadi dirimu sendiri, seseorang yang tidak terkontaminasi perasaan kehilangan yang mendalam.Kamu bisa melihat ke belakang tanpa takut untuk terjebak, dan akhirnya kamu percaya bahwa semua hal yang terjadi pasti ada alasannya. Kamu tidak lagi merasa perlu mengutuk mantanmu, atau mengecek akun media sosialnya lagi, karena akhirnya kamu bisa menerima fakta bahwa kalian sudah tidak bersama lagi.Rasa sakitmu memang belum hilang total, tetapi kamu sudah bisa memberi ruang pada kemungkina-kemungkinan baru.

 

Saya pernah melewatkan fase-fase di atas, dan saya yakin kalian pun pernah, atau sedang melewatinya. Ada beberapa dari mereka yang cukup beruntung dan bisa loncat dari fase nomor 1 ke nomor 5. Ada juga yang masih terjebak di fase nomor 1, walaupun merasa sudah di nomor 5. Semua itu adalah pilihan kita. Memang kesedihan tidak bisa dihindari, tetapi seberapa lama kita menderita adalah pilihan kita. Kita bisa memilih untuk menderita selama sebulan, atau sepuluh tahun. Tergantung seberapa masokisnya kamu.

Remember, “This too, shall pass.”

 

(Kelima fase di atas saya tulis berdasarkan “The 5 Stages of Loss and Grief” oleh Elizabeth Kubler-Ross. Terima kasih, Elizabeth, kamu pintar dan bijaksana sekali!)