Jangan Sampai Pikiranmu Bau Busuk!

Titik dimana indra penciumanmu mulai diganggu gugat

Hidung kita sudah terbiasa mengenali bau-bauan yang berbeda. Misalnya, bau soto ayam, bau nasi goreng kambing, dan juga bau bangkai tikus yang telah terlindas ban mobil berhari-hari lalu. Tetapi, apakah kalian tahu, kalau pikiran pun bisa ‘berbau’ busuk?

Mari berkenalan dengan Dr. Bob Wright, CEO dari Wright Graduate University dan pembina program Transformational Leadership. Bob (begitulah nama panggilan saya ketika nanti sudah kenal akrab) mencoba mendefinisikan apa yang dia sebut Stinking Thinking, yaitu taktik yang digunakan dengan sengaja untuk memburamkan ekspektasi yang bisa memanipulasi situasi dan proses pengambilan keputusan. Orang-orang yang manipulatif, insecure dan power seekers; mengaplikasikan Stinking Thinking.

Nah, untuk memastikan seberapa busuk bau pikiranmu, mari kita lihat tanda-tanda dari Stinking Thinking:

1. Hitam-atau-putih? Pernahkah kamu melihat sesuatu sebagai hitam-atau-putih, dan bukannya hitam, abu-abu, dan putih? Ketika kamu selalu melihat sesuatu dari hitam-atau-putih, kamu tidak menyisakan ruang untuk proses. Misalnya, kamu sedang melakukan proses pendekatan dengan orang yang kamu suka, dan dia biasanya selalu membalas WhatsAppmu. Tiba-tiba suatu hari, dia tidak membalasnya semalaman, dan kamu langsung merasa, “Yah, kandas deh gue. Dia berubah. Selesai sudah semuanya.”

2. Selalu vs. tidak pernah – Dua kata yang berbahaya untuk diulang-ulang adalah “always” dan “never”. Ketika kamu selalu mengucapkan kata-kata itu, kamu akan melihat suatu kejadian negatif sebagai kutukan permanen. Misalnya, kamu sedang kesal karena dimarahi oleh bosmu di kantor, lalu tiba-tiba sepatumu menginjak genangan lumpur. Sambil marah, kamu berkata kepada dirimu, “Kenapa sih, semua hal yang jelek selalu kejadian sama gue?”

3. Pilih kasih – Nah, ini yang akan terjadi ketika kamu ‘pilih kasih’ dengan suatu detil. Contohnya, kamu baru selesai melakukan presentasi di kantor, dan banyak sekali yang memujimu. Tiba-tiba, ada seseorang yang memberimu masukan dan kritik. Bukannya menjadikan itu sebagai semangat, kamu melupakan pujian-pujian yang lain dan hanya memikirkan kritik tersebut sambil berkata, “Tuh kan, gue emang nggak bagus presentasinya.”

4. Pikiran positif kok didiskon? – Jujur, menurut saya ini adalah salah satu tindakan paling jahat yang bisa dilakukan terhadap diri sendiri. Mendiskon pikiran positif, itu berarti kamu menolak untuk bangga atau senang dengan dirimu sendiri. Misalnya, ketika pekerjaanmu dipuji oleh bosmu, kamu malah berpikir, “Ah, semua orang juga bisa melakukan ini. Nggak ada yang spesial.” Ingat, rendah diri dan rendah hati itu berbeda.

5. Loncat langsung ke kesimpulan – Ingat, ini bukan papan loncat indah. Ketika tidak ada bukti untuk mendukung kesimpulanmu, kamu akan langsung mengartikan keadaan dengan negatif. Di sini adalah saat dimana kita merasa seperti peramal atau pembaca pikiran. “Tuh kan, dia nggak ngajak ngomong, pasti dia marah deh sama gue. “ Atau, “Ah, ngapain usaha, pasti nanti juga gagal kayak biasanya.”

6. Kaca pembesar – Membesar-besarkan kepentingan dari masalahmu itu juga bisa membuat pikiranmu berbau busuk. Apalagi, kalau kamu membesar-besarkan masalah sambil mengecilkan arti dari dirimu sendiri.

7. "Gue ngerasa x, pasti karena y" – Tenang, ini bukan soal matematika. Tetapi, hal itu terjadi kita kita mengasumsikan semua emosi negatif kita sebagai tanda dari suatu kenyataan. Contohnya, “Aduh, kok perasaan gue nggak enak ya, pasti akan ada hal buruk yang terjadi sama gue hari ini.”

8. “Harusnya tadi gue…” – Tiga kata yang bisa menjerumuskan kita ke jurang penyelasan atau rasa frustrasi. Contoh, setelah kamu menyelesaikan pekerjaan yang sangat sulit dan menyita energimu, kamu berkata, “Harusnya tadi gue nggak bikin kesalahan sebanyak itu.” Terkadang, kita suka terkecoh dan mengira bahwa “Harusnya tadi gue..” adalah tiga kata yang dapat memotivasi diri. Sayangnya, yang biasa terjadi adalah sebaliknya. Kita jadi merasa malu, menyesal, dan merasa bodoh karena tidak bisa menjadi sempurna.

9. Memberi label – Memberi label adalah versi kelas berat dari hitam-atau-putih. Bukannya mengatakan, “Saya telah membuat kesalahan,” kamu malah berkata, “Aduh, saya adalah orang bodoh.” Contoh lain, bukannya mengatakan, “Dia adalah perempuan yang melakukan kesalahan,” kita berkata, “Dia perempuan nggak benar.” Tanpa disadari, aktivitas memberi label ini bisa mendorong kita ke titik kemarahan, frustrasi dan rendahnya rasa percaya diri.

10. “Ini semua salah gue.” – Ugh, betapa rela berkorbannya kita, ketika kita merasa semuanya adalah kesalahan dan tanggung jawab kita. Ya, saya barusan sedikit sarkastik, tetapi proses menyalahkan ini sangat sering terjadi. Contoh, ketika seorang ibu mengetahui bahwa anaknya mendapat nilai jelek di sekolah, ia berkata, “Ini semua salah saya, saya adalah ibu yang gagal.” Memang terdengar ekstrim, tetapi kalau kamu mencoba mengamati dirimu dan orang-orang di sekitarmu, hal ini lazim terjadi. Atau, ada juga orang-orang yang selalu menyalahkan orang lain, dan menolak bertanggung jawab. Dua hal ini tidak ada yang sehat, karena proses menyalahkannya lah yang akan membuat kita cepat lelah dan marah. 


Kamu merasa sedikit tertampar? Jangan kesal dulu (tuh kan sudah mulai diselimuti Stinking Thinking No.11), ini berguna untuk bahan kontemplasi kamu untuk menjadi manusia modern yang lebih baik. Siapa tahu kalau kita berhasil mengontrol diri dari Stinking Thinking, pikiran kita akan ‘berbau’ harum dan segar seperti seprai yang baru keluar dari laundry?