Selamat Datang di Kota “Cinta Rasional”

Ketika logika menyupiri sebuah kendaraan bernama cinta

 

Mari mengidentifikasi ‘warna’ cinta! Tim SETIPE ingin mewakili Bapak John Lee, yang bercerita dalam bukunya ‘Colors of Love’ tahun 1973, untuk membuat ‘manusia modern’ paham warna cinta apa yang menyelimuti mereka. Setiap individu, sadar atau tanpa sadar, memiliki cara tersendiri dalam melihat, memahami dan menjalankan hubungan. Shall we start?

 

Hari ini, kita akan membahas tentang warna cinta yang akan kita sebut Pragma. Warna ini menggambarkan kaum yang selalu melihat sesuatu secara rasional, dan akan memastikan kepraktisan dari suatu hubungan, bahkan sebelum memulainya. Ya, orang-orang ini akan menentang “Cinta itu penuh misteri” dan “Jalani saja hubungan ini, toh kita tidak akan pernah tahu akan berakhir di mana.” Tidak, mereka akan memastikan dan berusaha agar ketidakpastian atau konflik dalam suatu hubungan akan mencapai titik seminimal mungkin.

Mungkin kalian yang senang dengan misteri, romansa dan roller coaster dalam suatu hubungan percintaan, tidak akan setuju untuk mengenakan warna cinta yang seperti ini. Namun, Rama berpendapat lain. Kali ini, saya akan menggunakan Rama sebagai alat untuk menggambarkan warna Pragma. (Rama, Pragma, rhyming ya ternyata?)

Halo, Rama!

Tidak seperti teman-teman saya yang lain, Rama selalu berpikir logis dan memilih untuk mengesampingkan perasaan. Sekedar ilustrasi, dua mantan Rama yang terakhir memutuskan dia karena Rama tidak spontan dan tidak romantis. Rama adalah pasangan yang setia, stabil, namun tidak pernah menunjukkan rasa sayangnya dengan cara-cara yang dikenal secara universal (Rama jarang sekali mengucapkan “I love you”, dan tidak pernah memberikan surprise untuk pasangannya). Mantan-mantannya Rama yang butuh untuk dipuja dan merasa disayang, semuanya menganggap Rama terlalu datar dan tidak ekspresif. Untuk Rama, keromantisannya digambarkan dengan tindakan yang dilakukan setelah berpikir masak-masak, bukan spontanitas dan perasaan.

Rama biasa dipanggil ‘Si tukang mikir’. Betul, karena bahkan untuk mengajak perempuan berkenalan saja, dia akan berpikir kurang lebih sembilan ratus sembilan puluh sembilan kali. Walaupun Rama cukup supel dan terbuka dengan orang baru, Rama sudah dua tahun tidak punya pacar, dan memilih untuk menghabiskan sebagian besar waktunya dengan bekerja dan berinvestasi. Awalnya, saya menganggap sisi ‘kaku’ darinya itu sebagai tanda dari seseorang yang takut dan malas sakit hati. Namun, setelah mengobrol lebih lanjut, saya menemukan penjelasan lain akan mengapa Rama senang sekali menganalisa dan merencanakan sesuatu sebelum bertindak, bahkan untuk hal-hal kecil sekalipun.

“Gue belum mau berkomitmen kalau gue belum settle secara pekerjaan dan finansial. Love is beautiful, but it has to be realistic.”

Tipe Perempuan: “Jauh amat mikirnya, Bro.”

Teman-teman saya senang sekali membahas tipe perempuan apa yang mereka cari. Kebanyakan sih menjawab, “Yang asik, cantik, nggak manja dan pinter.” Ya, masih banyak dari mereka yang bingung dengan apa yang sebenarnya mereka cari dan inginkan. Ketika Rama ditanya soal tipe perempuan yang dia cari, dengan yakin dia menjawab, “Gue cari yang kompatibel dengan gue. Gue mengejar karir, dan yang gue cari adalah perempuan yang akan bisa menjaga agar rumah kita hangat dan berkecukupan. She will be the earth to my moon, and the moon to my earth. I’m looking for a life partner, not a lover.”

Jawaban Rama itu diakhiri dengan gelengan kepala teman-teman saya yang lain. “Nanti aja lah, Bro. Jauh amat mikirnya,” kata mereka sambil menyembunyikan kebingungan dengan memesan gelas bir berikutnya.

Ketika Rama Berkenalan Dengan Dinnah

Pada suatu hari, Rama berkenalan dengan orang baru di kantornya, perempuan bernama Dinnah. Dinnah adalah sosok yang tenang, rajin menabung…oke, ini bukan pendidikan PPKN ketika kita masih SD. Maksud saya, Dinnah adalah seorang perempuan yang independen, datang dari keluarga baik-baik, dan senang sekali memasak.

Setelah melewati setahun proses perkenalan yang lebih jauh dengan Dinnah, Rama bercerita kepada saya bahwa perempuan inilah yang dia cari selama ini. Sesosok perempuan yang tidak akan memberinya ‘bumbu-bumbu’ cinta yang biasa dikemas dengan drama, namun seorang yang akan bisa menjalani hubungan berkomitmen yang serius dan stabil.

Hubungan mereka tidak dilandasi dengan spontanitas, melainkan rencana-rencana dan pemikiran yang logis mengenai langkah apa yang akan diambil di kemudian hari. Tidak seperti hubungan-hubungan lain yang diawali dengan perasaan, mereka memulainya dengan komitmen. Seperti sepasang partner bisnis yang akan menjalankan suatu bisnis bersama. Rama berkata,

“Akhirnya gue ketemu sparring partner gue nih, Cha.”

Ya, sparring partner, bukan the girl of my dreams, seperti yang biasa diucapkan di film-film komedi romantis.

Rama & Dinnah: menuntun takdir, bukan dituntun

Beberapa kali saya pergi bersama Rama dan Dinnah (ya, saya setengah manusia, setengah nyamuk). Gaya berpacaran mereka tidak penuh kemesraan dan tidak meletup-letup seperti kebanyakan orang yang saya kenal. Bahkan, mereka terlihat sebagai sepasang suami istri, ketimbang pacaran.

Saya iseng mengomentari, “Kalian kayak suami istri, deh. Kapan mau punya anak?”

Tanpa disangka, Rama menjawab dengan serius, “Belum, Cha. Karena gue merasa income gue belum cukup besar untuk merawat anak dan menabung untuk segala keperluan masa depannya. Tapi kita berencana untuk menikah di pertengahan tahun depan, karena setelah kita hitung-hitung, dananya akan sudah cukup. Kita akan tinggal di apartemen gue dulu, sembari menabung untuk membeli rumah. Tapi, ya pelan-pelan saja.”

Dinnah tersenyum dan menambahkan, “We are compatible and mutually beneficial for each other. And that is more than enough. Doain semuanya lancar ya, Cha.”

Tenang, tenang. Kalau kalian sekarang sedang sesak napas karena tidak merasa memiliki warna Pragma seperti Rama dan Dinnah, coba tarik napas dalam-dalam. Ya, sekarang hembuskanlah napas itu, dan tunggu ulasan mengenai warna lain bernama Storge besok, di SETIPE.COM.