Ya, Saya Mempertanyakan Persepsi Kamu!

Pernahkah kamu merasa skeptis dalam mencari pasangan?

Tenang saja, kamu tidak sendirian kok. Itu juga yang saya alami ketika saya ngotot bahwa semua laki-laki itu pembohong dan hanya mementingkan diri sendiri. Akibatnya, saya sempat terjebak dalam fase tidak percaya akan cinta dan tidak mengindahkan beberapa laki-laki yang sebenarnya baik (Ya, kamu boleh menghakimi saya yang dahulu bodoh). Saya baru tersadar bahwa kesimpulan yang saya tarik tersebut sungguh naif ketika teman saya membentak ‘Capek ah, apa pun yang bakal gue bilang sama lo juga nggak akan mempan karena lo nggak akan mau ngerubah mindset lo apapun yang terjadi. Terserah, gue nyerah’. Saat itu saya merasa mendapatkan ‘tamparan’ yang membuat saya sadar betapa kerasnya saya dalam mempertahankan pemikiran saya yang tidak rasional. Akhirnya pelan-pelan saya belajar untuk dapat melihat lebih objektif, membuka diri, dan menjalin cinta baru.

Saya akui bahwa saya adalah salah satu korban dari pikiran saya sendiri dan kasus saya ini hanyalah salah satu contoh bagaimana kepercayaan yang salah dapat menjadi hambatan dalam hubungan romantis. Ironisnya, jebakan kesalahan persepsi ini memiliki banyak celah yang dapat menghalangi kamu dalam membina hubungan romantis dengan orang lain jika kamu tidak berhati-hati.

Nah, sekarang saya ingin berbagi ‘tamparan’ ini dengan kalian agar tidak terjerumus dari ilusi pikiran sendiri seperti saya dahulu. Cara paling awal untuk keluar dari jebakan salah persepsi ini adalah dengan mengetahui seberapa akurat hal-hal yang kita percayai saat ini. Seorang pakar emosi, Karyn Hall (2012) menjabarkan beberapa hal yang bisa membuat kita ‘salah tangkap’ beserta cara untuk menghindari kesalahan tersebut:

1. Cuma mau menerima informasi yang relevan dengan persepsi kita

Sebagai manusia, kita memang cenderung untuk mencari pembenaran. Tetapi sayangnya kita seringkali hanya memfokuskan diri pada informasi yang mendukung kepercayaan kita dan membuang informasi yang berlawanan. Akibatnya kita salah untuk menyimpulkan karena tidak mampu untuk objektif, sulit untuk melihat big picture dari kejadian, dan melewatkan informasi yang sebenarnya penting dan krusial. Perilaku ini dapat digolongkan dalam confirmation bias, yaitu kecenderungan untuk menginterpretasi informasi tertentu sesuai dengan apa yang kita yakini. Sebagai contoh, saya percaya bahwa laki-laki itu semuanya egois. Saya mengabaikan fakta bahwa ada laki-laki yang rela malam-malam ke rumah saya yang jauh dari rumah dia dan membatalkan janji main sama teman-temannya hanya untuk mengantarkan makanan untuk saya. Saat saya diminta untuk mengambil keputusan, saya akan tetap menjauhi laki-laki tersebut karena di mata saya informasi itu tidak penting dan laki-laki tetaplah makhluk egois. Bayangkan jika saya tidak ‘tobat’ dan terus bertahan dengan persepsi saya ini. Tentunya saya jamin saya tidak akan pernah mendapatkan pasangan romantis, atau bahkan kalau sudah kronis, saya tidak akan pernah mendapatkan pasangan.

2. Mengasosiasikan hal-hal yang tidak relevan

Terdapat pula confirmation bias dimana kita menyambung-nyambungkan informasi yang sebenarnya tidak berasosiasi sama sekali dengan kepercayaan yang kita punya untuk mengisi ketidaktahuan kita akan suatu hal. Sebagai contoh, mantan pacar saya adalah seorang laki-laki berpostur tinggi dengan rambut gondrong. Karena saya mengalami pengalaman yang buruk dengan mantan pacar saya, saya memiliki kecurigaan pada setiap laki-laki yang berpostur tinggi dengan rambut gondrong yang mendekati saya. Tak hanya itu, saya juga lebih mudah untuk menyimpulkan bahwa laki-laki tersebut akan berperilaku persis seperti mantan saya tersebut. Hal ini terjadi karena manusia memiliki kecenderungan untuk percaya bahwa seseorang yang memiliki satu kemiripan dengan orang yang dikenal cenderung memiliki karakteristik yang sama secara keseluruhan. Dengan begitu, kita belajar untuk membuat asosiasi secara otomatis yang seringkali tidak kita sadari. Akibatnya asosiasi tersebut mempengaruhi penilaian kita terhadap orang baru. Dalam hal ini, penarikan kesimpulan dari asosiasi hal yang tidak relevan tentu saja akan mengarahkan kita dalam sesat pikir.

3. Terjebak nostalgia

Siapa yang pernah? (Saya! Saya! *angkat tangan bersemangat*). Seperti kedua contoh di atas, kita cenderung membentuk kepercayaan kita akan hubungan romantis berdasarkan pengalaman masa lalu. Pengalaman masa lalu tersebut lalu menjadi patokan kita dalam memandang hubungan kita ke depannya. Namun tak jarang kita malah terjebak dalam ilusi persepsi saat menjadikan hubungan masa lalu sebagai ‘jangkar’ dari hubungan kita yang baru. Saat mengalami kegagalan dalam percintaan, kita tidak hanya melakukan confirmation bias, tetapi kita juga cenderung untuk merasa bahwa kita memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk gagal lagi pada hubungan selanjutnya. Padahal, hubungan romantis yang baru ini bukanlah perhitungan reduksional dimana kegagalanmu pada masa lalu mengurangi kemungkinan keberhasilanmu di masa depan. Di hubungan baru tentunya Kamu menghadapi orang yang berbeda dengan situasi yang berbeda juga. Come on, jangan sampai nostalgia berubah menjadi nostalgila.

4. Tidak berpikir jernih karena Bad Mood

Hal terakhir yang tidak kalah penting dari hal yang dihasilkan dari confirmation bias sendiri adalah bagaimana keadaan mood diri saat menerima informasi. Bayangkan hari ini nilai ujian pelajaran yang kamu sangat kuasai ternyata jelek, jalanan pulang ke rumah macet, dan cuaca selama beberapa bulan mendung. Kamu sedang merasa sedih dan orang yang kamu incar tidak meresponmu sebagaimana yang kamu inginkan. Kamu menjadi mudah untuk memikirkan hal yang tidak-tidak tentang, misalnya; berpikir kamu kurang menarik atau menyimpulkan bahwa dia telah menemukan orang lain. Padahal bisa saja incaran kamu itu sedang mengalami hal buruk, seperti sedang sakit misalnya. Mood yang buruk memang dapat membuat kita merasa down dan menerima informasi dengan negatif. Akibatnya kita bisa saja gagal untuk berpikir jernih dan salah memaknai informasi.

 

Untuk menghindari sesat persepsi tersebut, saya akan memberi sedikit tips yang dapat kamu lakukan (yang sudah saya lakukan juga):

1. Cek fakta di lapangan

Hal ini bisa kamu lakukan dengan melihat keadaan faktual yang terjadi. Jika kamu bingung, tuliskan saja kejadian-kejadian yang kamu alami. Cara lain untuk mengecek fakta adalah menanyakan orang lain yang kamu percaya dan menurut kamu bisa objektif dalam menilai (Ingat! Bukan mencari orang yang sependapat denganmu). Dengarkan orang itu dan renungi pro dan kontranya.

2. Sedih berkepanjangan

Ya. Memang tidak mudah untuk menepis kesedihan. Tetapi terus berlarut dalam kesedihan masa lalu tidak akan membantumu untuk menghadapi masa depan dan melihat segala hal menjadi lebih objektif. Yang ada kamu hanya stuck di satu tempat dan membuat tenagamu habis karena mempertahankan hal yang tidak perlu untuk dipertahankan. Saya pribadi hanya menyarankan waktu maksimal dua minggu untuk kamu bersedih. Selebihnya, merelakan kejadian yang sudah berlangsung dan mencoba untuk membuat diri lebih optimis niscaya akan membantu kamu untuk menghadapi masalah secara lebih efisien.

3. Pikiran dan perasaan harus berteman baik

Saat kamu menyimpulkan suatu hal, ada baiknya kamu menyadari apa pertimbanganmu dan apa yang sedang kamu rasakan saat itu. Bisa jadi kamu hanya sedang mengalami mood buruk atau sedang mengalami tekanan sehingga kamu sulit untuk berpikir jernih. Beri waktu diri sejenak untuk merenung. Hal yang dapat dilakukan lainnya adalah mencoba membayangkan jika teman terdekatmu yang ada dalam posisimu, apakah saran yang akan kamu berikan terhadapnya? Biasanya hal yang kamu sarankan kepada orang lain adalah apa yang kamu rasakan sebenarnya sehingga memposisikan diri sebagai orang yang memberi saran dapat membantu kamu menyadari pikiran dan perasaanmu sebenarnya.

Sekian tamparan dari saya. Sekarang apakah sudah siap untuk keluar dari jebakan persepsi dan membina hubungan baru? Saya tantang kamu!